Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

"Sedekah,infaq itu harus seperti orang buang air besar"

Assalamu'alaikum

MEMBAHAGIAKAN DIRI

Pernahkah Anda sekedar membaca sebuah puisi, Karena Ayahku yang ditulis Inayah Wulandari Wahid, putri keempat Gus Dur:

Kalau Aku adalah Orang Yang Peduli Karena Ayahkulah Yang Mengajari
Kalau Aku adalah Orang Yang Toleran Karena Ayahkulah Yang Mencontohkan
Kalau Aku adalah Orang Yang Penuh Cinta Kasih Karena Ayahkulah Yang Memberi Tanpa Pamrih
Kalau Aku Adalah Orang Yang Rendah Hati Karena Ayahkulah Yang Menginspirasi
Kalau Aku Menulis Puisi Ini Karena Ayahkulah Segalanya yang Berarti
Puisi indah yang bernuansa spiritual dan polos, yang menjadi bukti kedalaman kecintaan seorang anak pada ayahnya dan dibacakan usai acara tahlilan hari ke-7 Gus Dur.

Atau Anda pernah sekedar membaca sebuah karya Dety Anggraeny, yang menulis puisi untuk anak didiknya:
Aku adalah seorang guru, kata orang yang digugu dan ditiru. Dulu aku seorang guru yang tak tahu apa-apa, yang kutahu hanya mengajar tanpa harus banyak belajar. Ditengah-tengah ketidaktahuanku aku menemukan guru yang amat luar biasa, mereka adalah murid-muridku.
Murid-muridku adalah guru yang tidak pernah memarahiku, kesalahan apapun yang aku perbuat dengan sabar mereka membimbingku menjadi guru yang bijaksana.
Murid-muridku adalah guru yang selalu menghiburku, sesedih apapun perasaanku akan hilang bila bersama mereka. Aku selalu dihibur dengan tawanya yang riang, dengan sikapnya yang lucu sehingga aku menjadi guru yang periang.
Apabila aku tidak menguasai pelajaran aku selalu dibimbing agar aku bersemangat untuk terus berusaha tanpa pernah mereka mengkritik aku dengan kata-kata yang pedas, murid-muridku adalah guru yang mengerti akan keterbatasanku.
Bila aku kehilangan ide-ide merekalah inspirasi bagiku, mereka memberikanku energi yang luar biasa dalam berkreasi. Sikapnya, celetukannya, gurauannya, dan kesedihannya adalah bagian dari pelajaran yang mereka berikan kepadaku sehingga aku menjadi guru penuh inspirasi.
Murid-muridku juga mengajarkan bagaimana caraku berbusana yang pantas layaknya sebagai guru, sehingga aku menjadi guru yang enak untuk dipandang.
Dari cerita-cerita mereka akupun belajar menjadi orang tua yang bijaksana dan menjadi orang tua yang diimpikan oleh anak-anakku.
Murid-muridku adalah guru yang luar biasa bagiku. Semoga ilmu yang mereka berikan padaku terus mengalir sebagai bekal kelak nanti dihadapan Sang Maha Pencipta, aamiin
Aku persembahkan tulisan ini untuk semua murid-muridku

Sungguh akan menjadi hal yang sangat dramatis atau bahkan mengharukan apabila suatu ketika guru dan siswa dapat menyampaikan perasaannya secara terbuka. Dari dua puisi ini, kita belajar bahwa kesan terdalam lahir dari sebuah intensitas dan keteladanan. Bagaimana menjadi baik bukan berasal dari penilaian pribadi tetapi ungkapan orang lain atas apa yang telah dilakukannya. Hal ini tentunya berlaku sama bagi kita sebagai guru yang setiap hari berinteraksi dengan siswa di kelas.

Murid adalah tempat guru belajar untuk lebih manusiawi. Belajar untuk menghargai bahwa setiap anak memiliki potensi yang berbeda. Sehingga kebenaran yang selama ini secara tidak langsung ada pada guru, akan bersifat relatif karena berhadapan dengan dimensi pribadi siswa yang beragam. Penilaian baik atau tidaknya seorang guru mengajar, jelas atau tidaknya seorang guru menjelaskan, semua hadir dari cermin seorang siswa. Dimata setiap siswa kita-lah, sebenarnya arti kebermaknaan profesi kita sebagai seorang guru.

Betapa tanpa kita sadari mereka merekam setiap tindakan, perasaan dan ucapan yang kita lakukan. Terkait dengan ini Fater Van Kolvenbach pernah mengingatkan kita semua bahwa siswa tidak akan mengingat dengan baik apa yang telah diajarkan oleh guru, melainkan akan mengingat dengan benar apa yang telah mereka lakukan. Dalam pernyataannya, Fater Van Kolvenbach ingin mengingatkan kita pada hal yang utama dari pendidikan disekolah, yakni keteladanan.

Menurut istilah john locke (tabularasa), bayi itu dilahirkan bagaikan papan kosong ia akan meniru atau belajar apa yang ditanamkan orang tuanya atau lingkungannya. Dalam hal ini orang tua adalah guru yang pertama, sedang para guru adalah guru yang kedua. Kedua-duanya memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter pribadi dari sebuah keteladanan diri. Disinilah arti sebuah simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan) perlu terjalin antara orang tua dan guru, dalam mendidik siswa.

Ing Ngarso Sung Tuladha, demikian Ki Hajar Dewantara menyebutnya dan sekaligus menempatkannya sebagai komponen pertama dari dasar pedagogik Taman Siswa. Beliau tahu benar betapa keteladanan tidaklah dapat kita temukan ditumpukan buku-buku pedagogik, tetapi keteladan lahir dari kejujuran seorang pribadi. Oleh karena itu, seorang guru harus jujur dengan dirinya, menerima dengan rela profesinya, meski dia berjuang ditengah ketidakjujuran pemerintah. Ketidakjujuran untuk mengakui bahwa pemerintah belum dapat memberikan pendidikan yang sama untuk semua anak. Ketidakjujuran untuk mengakui bahwa pemerintah belum dapat memberikan penghargaan setinggi-tingginya untuk seorang guru. Ketidakjujuran untuk mengakui bahwa pemerintah belum dapat memberikan kebahagiaan yang nyata dihati setiap guru. Kebahagiaan yang tidak sebatas sertifikasi tetapi kepastian bahwa guru tidak akan merisaukan nasib diri dan keluarganya.

Untuk semua ini seorang guru harus mampu bahagia, baru kemudian memberikan keteladanan. Kebahagiaan akan melahirkan energi positif dan itu akan menular ke setiap hati anak didik kita. Apabila saat itu tiba akan terlahir puisi yang pasti akan lebih indah dari dua puisi diawal tulisan ini. Berbahagialah jika Anda seorang guru….

Sumber: https://hafismuaddab.wordpress.com/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar